Sepucuk surat dilayangkan anggota Kongres Amerika Serikat kepada
Presiden Barack Obama. Isinya tentang pemilihan presiden yang akan
berlangsung di Turki. Para anggota Kongres memperingatkan tentang
kemungkinan terpilihnya Recep Tayyip Erdogan yang dinilai dapat
menghambat proses demokrasi di negara tersebut.
Bukan kali ini saja AS memperingatkan tentang pemilihan di Turki. Pada pemilu sebelumnya, koran Inggris merilis, sehari sebelum pemilu anggota Kongres AS menyerukan untuk tidak memilih Erdogan dan partai pendukungnya, AKP. Dalam salah satu rilis data Wikileaks, Erdogan adalah salah satu pemimpin Turki yang ditakuti AS. Selain Erdogan, pemimpin Turki lain yang juga ditakuti AS adalah mantan Presiden Turki Abdullah Gul dan Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu.
Peringatan dan seruan AS itu muncul karena takut Turki akan berjaya di bawah kepemimpinan Erdogan, jika PM Turki ini terpilih menjadi presiden. Jika itu yang terjadi, maka AS tak akan bisa mendikte Turki.
Dan kini, peringatan itu menjadi sia-sia. Erdogan berhasil memenangkan pemilihan presiden langsung yang kali pertama dilakukan Turki hanya dengan satu putaran. Ia mengalahkan para pesaingnya dengan memperoleh 52% suara.
Kisah Erdogan ini mengingatkan saya pada sosok Prabowo Subianto, calon presiden Indonesia yang juga sangat ditakuti AS. Indikasi itu terlihat dari pemberitaan harian New York Times, Jumat(28/3/2014). Pencalonan Prabowo sebagai presiden disebut-sebut New York Times telah memunculkan keprihatinan di dalam negeri.
“Pencalonan Pak Prabowo telah menyuarakan keprihatinan yang mendalam diantara aktivis hak asasi di Indonesia dan luar negeri . Mereka mencatat bahwa komisi hak asasi manusia di negara itu merekomendasikan bahwa ia dituntut dalam penculikan diduga aktivis pro demokrasi di akhir 1990-an , selama bulan-bulan terakhir pemerintah yang didukung militer Presiden Soeharto ayah mertuanya pada saat itu,” tulis Wartawan New York Times Joe Cochrane.
Pencalonan mantan Danjen Kopassus tersebut sebagai presiden menurut Cochrane di New York Times juga membuat sulit Amerika Serikat terutama pemerintahan presiden Barack Obama. Cochrane juga menyebut pada dasarnya Amerika Serikat sangat keberatan apabila Prabowo nantinya menjadi orang nomor satu di Indonesia.
“Prabowo yang lulus dari program pelatihan militer Amerika pada tahun 1980 dan merupakan pengagum Amerika Serikat telah selama bertahun-tahun membuat jelas bahwa ia ingin bertemu dengan para pejabat Amerika tingkat tinggi . Sejauh ini, Amerika Serikat telah keberatan,” tulis Cochrane di New York Times.
Cut Meutia, seorang praktisi komunikasi, yang pernah belajar di Kyushu Women University Jepang, menulis hal ini di akun facebook miliknya. Tulis dia: New York Times tanggal 26 Maret 2014 memberitakan, bahwa Amerika Serikat tidak memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto, karena Prabowo dianggap akan mengancam kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Dimana Amerika Serikat memiliki banyak perusahaan besar seperti Freeport yang merupakan perusahaan tambang emas terbesar di dunia.
Erdogan dan Prabowo memiliki kesamaan: sangat ditakuti AS dan keduanya diserang dengan berbagai fitnah agar tak menjadi presiden. Namun, keduanya kini memiliki takdir berbeda. Jika Erdogan sukses menjadi presiden, Prabowo masih harus terus berjuang ke Mahkamah Konstitusi karena terjadinya dugaan kecurangan masif, terstruktur dan sistematis dalam pilpres di Indonesia. Mengapa ini terjadi?
Rakyat Turki tak terpengaruh dengan propaganda busuk dan fitnah yang diarahkan kepada Erdogan oleh media Barat. Mereka cerdas, bisa membedakan mana pencitraan dan mana fakta serta telah merasakan hasil kerja Erdogan.
Di Indonesia, kondisinya terbalik. Sebagian besar rakyat berhasil dikelabui dengan pencitraan terhadap Jokowi. Ironisnya, belum merasakan hasil kerjanya Jokowi tetap dipilih. Dan mereka menolak Prabowo akibat kampanye hitam yang disuarakan media arus utama di Tanah Air yang dibekingi Barat.
Charlie Illingworth, seorang Penulis AS berkata,”Presiden AS Richard Nixon (1969-1974) menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Sovyet atau China.”
Kita berharap, sembilan hakim Mahkamah Konstitusi teringat dengan Charlie pada saat memutuskan perkara pilpres, 21 Agustus kelak. Agar Erdogan dan Prabowo memiliki takdir yang sama: menjadi presiden.
Erwyn Kurniawan
@Erwyn2002
Pemerhati Politik Islam dan Media
Bukan kali ini saja AS memperingatkan tentang pemilihan di Turki. Pada pemilu sebelumnya, koran Inggris merilis, sehari sebelum pemilu anggota Kongres AS menyerukan untuk tidak memilih Erdogan dan partai pendukungnya, AKP. Dalam salah satu rilis data Wikileaks, Erdogan adalah salah satu pemimpin Turki yang ditakuti AS. Selain Erdogan, pemimpin Turki lain yang juga ditakuti AS adalah mantan Presiden Turki Abdullah Gul dan Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu.
Peringatan dan seruan AS itu muncul karena takut Turki akan berjaya di bawah kepemimpinan Erdogan, jika PM Turki ini terpilih menjadi presiden. Jika itu yang terjadi, maka AS tak akan bisa mendikte Turki.
Dan kini, peringatan itu menjadi sia-sia. Erdogan berhasil memenangkan pemilihan presiden langsung yang kali pertama dilakukan Turki hanya dengan satu putaran. Ia mengalahkan para pesaingnya dengan memperoleh 52% suara.
Kisah Erdogan ini mengingatkan saya pada sosok Prabowo Subianto, calon presiden Indonesia yang juga sangat ditakuti AS. Indikasi itu terlihat dari pemberitaan harian New York Times, Jumat(28/3/2014). Pencalonan Prabowo sebagai presiden disebut-sebut New York Times telah memunculkan keprihatinan di dalam negeri.
“Pencalonan Pak Prabowo telah menyuarakan keprihatinan yang mendalam diantara aktivis hak asasi di Indonesia dan luar negeri . Mereka mencatat bahwa komisi hak asasi manusia di negara itu merekomendasikan bahwa ia dituntut dalam penculikan diduga aktivis pro demokrasi di akhir 1990-an , selama bulan-bulan terakhir pemerintah yang didukung militer Presiden Soeharto ayah mertuanya pada saat itu,” tulis Wartawan New York Times Joe Cochrane.
Pencalonan mantan Danjen Kopassus tersebut sebagai presiden menurut Cochrane di New York Times juga membuat sulit Amerika Serikat terutama pemerintahan presiden Barack Obama. Cochrane juga menyebut pada dasarnya Amerika Serikat sangat keberatan apabila Prabowo nantinya menjadi orang nomor satu di Indonesia.
“Prabowo yang lulus dari program pelatihan militer Amerika pada tahun 1980 dan merupakan pengagum Amerika Serikat telah selama bertahun-tahun membuat jelas bahwa ia ingin bertemu dengan para pejabat Amerika tingkat tinggi . Sejauh ini, Amerika Serikat telah keberatan,” tulis Cochrane di New York Times.
Cut Meutia, seorang praktisi komunikasi, yang pernah belajar di Kyushu Women University Jepang, menulis hal ini di akun facebook miliknya. Tulis dia: New York Times tanggal 26 Maret 2014 memberitakan, bahwa Amerika Serikat tidak memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto, karena Prabowo dianggap akan mengancam kepentingan Amerika Serikat di Indonesia. Dimana Amerika Serikat memiliki banyak perusahaan besar seperti Freeport yang merupakan perusahaan tambang emas terbesar di dunia.
Erdogan dan Prabowo memiliki kesamaan: sangat ditakuti AS dan keduanya diserang dengan berbagai fitnah agar tak menjadi presiden. Namun, keduanya kini memiliki takdir berbeda. Jika Erdogan sukses menjadi presiden, Prabowo masih harus terus berjuang ke Mahkamah Konstitusi karena terjadinya dugaan kecurangan masif, terstruktur dan sistematis dalam pilpres di Indonesia. Mengapa ini terjadi?
Rakyat Turki tak terpengaruh dengan propaganda busuk dan fitnah yang diarahkan kepada Erdogan oleh media Barat. Mereka cerdas, bisa membedakan mana pencitraan dan mana fakta serta telah merasakan hasil kerja Erdogan.
Di Indonesia, kondisinya terbalik. Sebagian besar rakyat berhasil dikelabui dengan pencitraan terhadap Jokowi. Ironisnya, belum merasakan hasil kerjanya Jokowi tetap dipilih. Dan mereka menolak Prabowo akibat kampanye hitam yang disuarakan media arus utama di Tanah Air yang dibekingi Barat.
Charlie Illingworth, seorang Penulis AS berkata,”Presiden AS Richard Nixon (1969-1974) menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Sovyet atau China.”
Kita berharap, sembilan hakim Mahkamah Konstitusi teringat dengan Charlie pada saat memutuskan perkara pilpres, 21 Agustus kelak. Agar Erdogan dan Prabowo memiliki takdir yang sama: menjadi presiden.
Erwyn Kurniawan
@Erwyn2002
Pemerhati Politik Islam dan Media
sumber : http://www.islamedia.co/2014/08/antara-erdogan-dan-prabowo.html