Jakarta - Sidang Paripurna DPR RI yang mengagendakan pengesahan RUU
Pilkada sejak Kamis (25/9/2014) hingga Jumat (26/9/2014) dini hari tadi
memutuskan pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Bagaimana mekanisme
pemilihan melalui jalur ini? Apakah akan melahirkan para kepala daerah
yang lebih baik apa sebaliknya?
Pemungutan suara atas dua opsi dalam draf RUU Pilkada yakni antara Pilkada secara langsung dan Pilkada melalui DPRD akhirnya memenangkan opsi Pilkada melalui DPRD. Sebanyak 226 anggota DPR memilih opsi Pilkada lewat DPRD dan 135 anggota DPR memilih opsi Pilkada langsung.
Pilihan Pilkada melalui DPRD oleh sebagian pihak termasuk beberapa lembaga negara menilai sistem ini justru bisa lebih meminimalisir terjadinya praktik suap dan korupsi. Bagaimana sebenarnya sistem pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD?
Jika membuka UU Pilkada melalui pemilihan DPRD terdapat hal yang tak pernah dijumpai saat Pilkada melalui DPRD sebelum hadirnya UU No 32 tahun 2004 lalu. Diantaranya:
1- UJI PUBLIK
Seperti di Pasal 16 yang memuat hingga 9 ayat memuat soal uji publik. Siapa yang melakukan uji publik? Disebutkan di Pasal 16 ayat (4), uji publik dilakukan oleh Panitia Uji Publik yang terdiri dari tiga unsur akademisi dan dua orang tokoh masyarakat.
Peran Panitia Uji Publik ini cukup signifikan. Setidaknya selama tiga bulan lamanya, Panitia Uji Publik bekerja. Hasil dari kerja Uji Publik juga tak ubahnya menjadi 'tiket' bagi calon kepala daerah untuk didaftarkan sebagai calon Kepala Daerah kepada fraksi DPRD dan gabungan fraksi DPRD untuk didaftarkan sebagai calon (Pasal 16 ayat 8).
2- CALON INDEPENDEN
Apakah Pilkada melalui DPRD masih membuka ruang calon independen untuk maju menjadi kepala daerah? Pasal 14 yang terdiri tiga pasal secara detil mengatur soal calon perseorangan atau lebih dikenal calon independen. Tidak jauh berbeda dengan mekanisme seperti tercantum di UU No 32 Tahun 2004. Seperti aturan bagi calon yang akan maju di tingkat provinsi disebutkan di pasal 14 ayat (1) huruf a "provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.0000 jiwa sampai dengan 6.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 persen.
3- ANTISIPASI SUAP DAN KORUPSI
Kritik tajam terkait pilkada melalui DPRD ini terkait kekhawatiran praktik suap dalam proses pemilihan melalui DPRD, di UU ini juga sudah diantisipasi. Ancaman bagi yang melakukan praktik ini tidaklah ringan. Bahkan hal ini diatur saat proses pencalonan.
Di pasal 18 ayat (2) disebutkan bagi partai politik atau gabungan partai politik, fraksi, dan gabungan fraksi yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Tidak sekadar denda, ancaman lainnya bagi yang terbukti menerima suap saat pencalonan kepala daerah, sanksinya partai politik, fraksi dan gabungan graksi yang mengusung calon terpilih tidak dapat mencalonkan kepala daerah pada periode berikutnya
Pilihan politik di parlemen telah ditempuh. Politik hukum mayoritas fraksi di DPR RI telah berikhtiar untuk menjadikan Pilkada lebih bermartabat. Pilihan yang berdasar praktik demokrasi lokal yang berbiaya mahal dan menimbulkan ekses sosial yang tidak sederhana tentu akan diuji di lapangan kelak pada Pilkada 2015 mendatang.
Apakah kedaulatan rakyat dirampas? Ini perdebatan yang tak berujung. Yang pasti, yang memilih kepala daerah kelak adalah mereka yang telah dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilu legislatif lalu. [mdr/inilah]
Pemungutan suara atas dua opsi dalam draf RUU Pilkada yakni antara Pilkada secara langsung dan Pilkada melalui DPRD akhirnya memenangkan opsi Pilkada melalui DPRD. Sebanyak 226 anggota DPR memilih opsi Pilkada lewat DPRD dan 135 anggota DPR memilih opsi Pilkada langsung.
Pilihan Pilkada melalui DPRD oleh sebagian pihak termasuk beberapa lembaga negara menilai sistem ini justru bisa lebih meminimalisir terjadinya praktik suap dan korupsi. Bagaimana sebenarnya sistem pemilihan Kepala Daerah melalui DPRD?
Jika membuka UU Pilkada melalui pemilihan DPRD terdapat hal yang tak pernah dijumpai saat Pilkada melalui DPRD sebelum hadirnya UU No 32 tahun 2004 lalu. Diantaranya:
1- UJI PUBLIK
Seperti di Pasal 16 yang memuat hingga 9 ayat memuat soal uji publik. Siapa yang melakukan uji publik? Disebutkan di Pasal 16 ayat (4), uji publik dilakukan oleh Panitia Uji Publik yang terdiri dari tiga unsur akademisi dan dua orang tokoh masyarakat.
Peran Panitia Uji Publik ini cukup signifikan. Setidaknya selama tiga bulan lamanya, Panitia Uji Publik bekerja. Hasil dari kerja Uji Publik juga tak ubahnya menjadi 'tiket' bagi calon kepala daerah untuk didaftarkan sebagai calon Kepala Daerah kepada fraksi DPRD dan gabungan fraksi DPRD untuk didaftarkan sebagai calon (Pasal 16 ayat 8).
2- CALON INDEPENDEN
Apakah Pilkada melalui DPRD masih membuka ruang calon independen untuk maju menjadi kepala daerah? Pasal 14 yang terdiri tiga pasal secara detil mengatur soal calon perseorangan atau lebih dikenal calon independen. Tidak jauh berbeda dengan mekanisme seperti tercantum di UU No 32 Tahun 2004. Seperti aturan bagi calon yang akan maju di tingkat provinsi disebutkan di pasal 14 ayat (1) huruf a "provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.0000 jiwa sampai dengan 6.000.000 jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5 persen.
3- ANTISIPASI SUAP DAN KORUPSI
Kritik tajam terkait pilkada melalui DPRD ini terkait kekhawatiran praktik suap dalam proses pemilihan melalui DPRD, di UU ini juga sudah diantisipasi. Ancaman bagi yang melakukan praktik ini tidaklah ringan. Bahkan hal ini diatur saat proses pencalonan.
Di pasal 18 ayat (2) disebutkan bagi partai politik atau gabungan partai politik, fraksi, dan gabungan fraksi yang terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan denda sebesar 10 (sepuluh) kali lipat dari nilai imbalan yang diterima.
Tidak sekadar denda, ancaman lainnya bagi yang terbukti menerima suap saat pencalonan kepala daerah, sanksinya partai politik, fraksi dan gabungan graksi yang mengusung calon terpilih tidak dapat mencalonkan kepala daerah pada periode berikutnya
Pilihan politik di parlemen telah ditempuh. Politik hukum mayoritas fraksi di DPR RI telah berikhtiar untuk menjadikan Pilkada lebih bermartabat. Pilihan yang berdasar praktik demokrasi lokal yang berbiaya mahal dan menimbulkan ekses sosial yang tidak sederhana tentu akan diuji di lapangan kelak pada Pilkada 2015 mendatang.
Apakah kedaulatan rakyat dirampas? Ini perdebatan yang tak berujung. Yang pasti, yang memilih kepala daerah kelak adalah mereka yang telah dipilih oleh rakyat secara langsung melalui pemilu legislatif lalu. [mdr/inilah]